Senin, 31 Mei 2010

Kamu dan segala Keindahanmu

Haruskah aku menyalahkan mentari,
Yang dengan sinarnnya memancarkan indah wajahmu?
Atau, aku harus memarahi rembulan,
karena cahaya purnamanya menyinari aura kecantikanmu?
Salahkah aku yang hanyut akan pesonamu?
yang terletak di antara dua bola mata yang anggun,
hingga hasrat membabi buta, tak kenal malam, pagi, siang
aku hanyut dalam kerinduan.
Jadi, siapakah yang salah?
Dirimu, dengan segala keindahan
atau diriku, dengan setiap kerinduan?
Apakah setuju,
Jika keindahanmu
bila kerinduanku
bersatu?
tawarku, kita akan menari bersama, merangkai mawar merah,
dan membuat dunia indah apa adanya.

__Ini puisi saya buat waktu SMA, waktu dulu saya jatuh cinta pertama kali sama dia.(aseeeeek)

Minggu, 16 Mei 2010

Masa depan itu semakin dekat . (Sebuah otobiografi)



Aku lahir dalam kondisi sama seperti umumnya bayi-bayi yang telah dilahirkan sebelumnya: normal dan menangis. Di sebuah rumah bersalin yang hanya memiliki sebuah kamar, Ayahku menjadi orang yang pertama mengumandangkan adzan di telinga kananku, dan iqamah di telinga kiri. Dan ia memberiku nama Imam Tanthowie. “Imam” artinya seorang pemimpin, sedangkan “Tanthowie” diambil dari nama seorang pengarang tafsir terkenal yang sangat mulia akhlaknya. Ibu sangat senang dengan nama itu.

Ibu juga sangat senang karena kelahiranku ini tidak membutuhkan dana sepeserpun. Karena bidan pemilik rumah bersalin ini merupakan kemenakan ibu. Ia mengratiskannya kepada kami, karena ini merupakan debutnya dalam mengurus sebuah persalinan. Setelah lulus dari sekolah tinggi kebidanan, ia langsung membuka rumah persalinan dirumahnya. Dan kami menjadi pasien perdananya. Ia sangat berterimakasih kepada keluarga kami. Terutama kepada bayi lucu yang baru saja ia selamatkan lahir ke dunia.

Masa kecilku adalah masa kecil anak-anak kecil kebanyakan. Senang bermain sampai lupa perut kosong, benci makan nasi, menangis ketika minta uang jajan, minum minuman tak bermerek bergelas-gelas, serta berlari-lari di jalan beraspal tanpa menggunakan sandal. Masa kecilku baru terlihat istimewa ketika aku telah diperbolehkan duduk di bangku sekolah. Ketika telapak tanganku sudah sampai ke telinga melewati ubun-ubun kepala.

Aku bersekolah di sebuah madrasah yang sudah cukup tua. Ayahku salah satu pengasuhnya. Di sekolah inilah baru aku temui segala keistimewaan yang ada pada diriku. Segala sifat yang tak biasa yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusiaku. Serta segala kelebihan yang aku memiliki yang membuat orang-orang yang mengenalku berdecak kagum tak henti memujaku. Termasuk ayahku. Juga ibuku.

Sejak hari pertama aku bersekolah, aku tidak pernah di antar orang tuaku. Padahal sekolah pertamaku dulu itu bisa dibilang sangat jauh untuk anak seumuranku. Bagiku bersekolah tanpa diantar lebih menyenangkan. Karena aku merasa bebas untuk membeli jajanan apapun yang aku mau di sekolah, tanpa ada yang memarahi. Selain itu, aku bisa  berlama-lama di jalan pulang kerumah,sambil menghitung mobil-mobil bagus yang lewat jalan raya.

Setiap hari di sekolah aku selalu menjadi perhatian guru-guru. Menurut mereka aku siswa yang cerdas, berani, dan ‘pentes’. Bahkan mereka menganggap aku seharusnya sudah pantas naik ke kelas dua tanpa harus melewati kelas satu lebih dahulu. Namun, karena tulisan tanganku yang berwujud buruk dan tak rapih menjadi alasan aku harus melewati kelas satu lebih dahulu. Maklum, sebelum masuk madrasah, aku tidak mau disekolahkan di taman kanak-kanak lebih dahulu. Karena aku menganggap taman kanak-kanak hanyalah sebuah sekolah untuk anak-anak. Walaupun sebetulnya aku juga anak-anak.

Enam tahun sekolah, seabrek prestasi aku raih. Dari kelas satu sampai kelas lima, berturut-turut aku selalu menjadi juara kelas. Aku pun lulus madrasah dengan nilai tertinggi yang sangat tinggi. Namun nilai yang ku raih waktu itu tidak terlalu berpengaruh membawaku ke sekolah tingkat lanjutan favorit. Karena sitem tes masuk sekolah menengah pertama saat itu mulai diberlakukan. Dan aku tidak mendapat kesempatan mengikuti tes-tes itu. Aku sakit waktu itu.

Selanjutnya, di sekolah tingkat lanjutan aku mulai mengalami banyak perubahan. Aku jadi sering bolos sekolah, bolos mata pelajaran, keluyuran malam, nongkrong bergitaran dengan teman-teman, bahkan aku sudah mulai merokok dan berpacaran. Perubahan yang terjadi yang aku rasakan menurutku disebabkan oleh pergaulanku yang mulai meluas. Aku mulai memiliki banyak teman dari beragam sisi yang berlainan. Untungnya, efek perubahan itu belum terlalu berdampak negatif bagi prestasiku. Aku masih bisa berprestasi, dan mencetak nilai tinggi. Hingga membawaku ke sekolah negeri.

Aku mengharapkan sekolah negeri akan memacuku untuk lebih berprestasi. Namun, lagi-lagi pergaulan mengacaukan segalanya. Tampaknya, kalimat “semua berawal dari pergaulan” yang keluar dari mulut temanku yang sangat “jeniyus” itu memiliki sebuah nilai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Seperti yang kurasakan, aku berubah menjadi orang malas, bengal, bahkan bodoh tanpa secuil pun prestasi disebabkan oleh pergaulan, salah pergaulan lebih tepatnya.

Terjangkit depresi dan sifat minder yang mengawali masa SMAku, membuatku merasa perlu mengadakan perubahan. Aku merasa tidak sudi melewati masa-masa ‘putih abu-abu’ _yang kata orang merupakan masa-masa yang paling indah_ hanya sebagai orang yang “dimarjinalkan”.orang yang dipinggirkan, tak dianggap, mudah dilupakan. Aku ingin mengukir namaku di kepala orang-orang yang berdampingan denganku. Aku ingin kepala sekolah dan wakil-wakilnya, para guru, siswa, komite sekolah, ketua osis, penjaga sekolah, ibu-ibu kantin dan semua makhluk hidup yang ada di tempat ini mengenalku. Sayangnya, aku menempuh jalan yang salah.

Aku mengawalinya dengan bergaul bersama orang-orang yang mungkin mempunyai satu visi denganku. Bergaul dengan mereka yang senang menciptakan keonaran di sana-sini, menikmati pelangaran yang dilakukan, serta membuat keributan yang tak jelas tujuannya. Mereka menganggap apa yang dilakukan akan membuat mereka dikenal lebih cepat, dihargai, dan disegani. Sungguh sebuah pemikiran yang sangat naïf sebenarnya. Tapi aku melah berfikir sama seperti itu. Aku sama bodohnya dengan mereka.

Mulailah aku yang awalnya ‘ikut-ikutan’ lama-lama menjadi terbiasa melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan. Bahkan aku lebih profesional dari mereka. Aku pernah berhasil membuat sembilan pelanggaran berat dalam satu bulan. Rekor yang menakjubkan. Belum ada sebelumnya. Ini menyebabkan ayahku harus mondar-mandir memenuhi pangilan dari sekolah. Padahal, beliau saat itu sudah sangat tua dan rentan dengan penyakit. Tapi aku malah menyiksanya dengan hal yang sangat memalukan. Sungguh aku merasa sangat berdosa saat itu.

Lebih buruknya lagi, kelakuan bejat ku itu tidak hanya kulakukan disekolah. Bahkan di rumah. Aku menjadi orang yang pembangkang, selalu bertolak belakang dengan apa yang telah orang tuaku ajarakan. aku doyan membuat orang tua dan seluruh keluargaku tertekan. Aku gemar meningalkan coreng hitam di wajah ayah, yang membuat malu orang-orang satu darah denganku. seolah-olah puberitas menuntutku untuk berlaku sejahat itu. Aku menjadi pribadi yang sangat buruk, sangat di benci. Ibarat  rupiah yang anjlok nilainya terhadap dolar pada masa krisis moneter, begitulah drastisnya kemerosotan moralku. Aku merasa bukan menjadi dirku lagi.

Semua yang aku lakukan itu memiliki akibat yang sangat merugikan bagiku dan kehidupanku. Aku harus menangung resiko dari perbuatan tololku itu. Nilai-nilai yang terjun bebas di setiap mata pelajaran, surat peringatan, skorsing, dihujat, dibenci, tak di perdulikan keluarga, semua harus kuterima walaupun pahit. Semua kuterima, tetapi tidak kujadikan pelajaran juga.

Tapi semua itu segera berlalu. Di penghujung masa SMAku, aku merasa mendapatkan sebuah petunjuk yang menyadarkan kekeliruan pikiranku. Aku yakin, Allah mengabulkan doa orang-orang yang masih menyayangiku, diantaranya ibu dan ayahku, yang mengharapkan agar aku berubah menjadi orang yang lebih berfikir maju, yang mendambakan agar aku bias menjadi orang yang membanggakan. Aku pun mulai belajar berfikir lebih dewasa, belajar menghargai pengorbanan orang-orang yang telah berkorban untukku, serta belajar menjadi pribadi yang di senangi oleh orang yang selama ini benci aku. Aku mulai berusaha keras untuk mewujudkan semua itu.

Setelah masa-masa indah yang merah itu berlalu, kini aku memasuki masa yang baru. Masa yang paling menentukan arah hidupku. Di perguruan tinggi ini setidaknya aku akan berusaha melakukan sesuatu yang dapat menerangi masa depanku. Masa depan yang sejak kecil sudah aku targetkan sebagai masa untuk membahagiakan orang tuaku. Dan masa depan itu kini semakin dekat. Artinya masa untuk membahagiakan orang tuaku juga sudah semakin dekat. Dan aku akan mempertaruhkan segalanya demi mempersiapkan kedatangan masa itu. Demi kebahagiaan satu-satunya orangt tuaku yang tersisa.

Rumah  yang semakin sepi, 26 oktober 2009.
03.19 pagi.

Anak Nelayan

Ini Cerpen Pertama saya ketika saya berhasil mebuat sebuah cerpen.


Judulnya ANAK NELAYAN
 ...
“Ardi ingin punya sepeda.” Suara Ardi lemah, sambil tertunduk lesu menatapi piring berisi sarapan paginya.
Ibu dan ayah yang juga sedang asyik menyantap sarapan pagi seadanya pun kaget mendengar  permintaan Ardi tersebut.
Setiap pagi, mereka memang selalu sarapan pagi bersama. Walupun hanya dengan nasi putih sisa makan malam yang dihangatkan kembali oleh ibu, dan beberapa potong tempe, yang juga sisa makan malam yang digoreng kembali, sebagai lauknya.
“Ardi, kamu kan tahu sudah beberapa minggu ini ayahmu tidak pergi melaut. Ayahmu belum punya uang. Nanti kalau ia sudah punya uang pasti dibelikan.” Ucap ibu lembut mencoba menghibur Ardi.
“Tapi kan ayah sudah lama janji ingin membelikan Ardi sepeda, Bu!” nada suara Ardi semakin tinggi. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Iya, tapi kan uang nya belum ada, Ardi! Sabar ya!” ibu mengelus-elus pundak Ardi berusaha menenangkan. Kemudian matanya menatap ke arah suaminya yang sedang tertunduk pasrah, mengusap-ngusap keningnya yang lebar, pusing memikirkan beban hidup yang harus ditanggungnya.
Terlintas dipikiran ayah hutang di sana-sini yang belum terbayarkan. Cicilan kredit perahunya pun dua bulan masih menunggak, dan sebentar lagi akan ditarik oleh KUD jika tidak segera dilunasi. Belum lagi tagihan uang sewa kontrakan yang mereka tempati, berbulan-bulan belum dibayar. Untungnya, sang pemilik kontrakan, Haji Bestari berhati baik. Dia tak akan mungkin sampai hati mengusir keluarga nelayan bernasib malang ini jika tidak juga membayar uang sewa kontrakannya.
.”Teman-teman Ardi yang lain sudah memiliki sepeda. Mereka selalu pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda. Ardi iri sama mereka.”
Ayah tertegun mendengarkan perkataan anak kesayangan satu-satunya itu. Sudah lama Ia berjanji kepada Ardi akan mebelikannya sepeda. Dahulu, ketika Ardi masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar, ia berkata kepada anak tunggalnya itu bahwa ia akan membelikan sepeda jika Ardi naik ke kelas lima. Namun, sekarang Ardi sudah duduk di kelas enam, dan sampai saat ini ia tak kunjung memenuhi janjinya itu kepada Ardi. Wajar jika saat ini Ardi menagihnya.
“Ya sudah. Hari minggu besok kita beli sepeda.” Ucap ayah sambil tersenyum menatap Ardi.
“Tapi kan, yah...,” Ibu ingin mengatakan sesuatu, namun cepat dipotong oleh tatapan yang mengisyaratkan sesuatu. Ibu hanya diam seribu bahasa.
Wajah Ardi berangsur-angsur berubah menjadi sedikit cerah. Ia mengangkat wajahnya yang dari tadi menunduk. Kini ia menatap mata ayah, mencari kepastian kebenaran apa yang telah diucapkannya. Ayah membalasnya dengan senyum mantap,  berusaha meyakinkan anaknya. Ia telah bertekad tidak akan mengecewakan anaknya lagi. Ibu pilu melihat pemandangan itu. Namun ia menguatkan hatinya. Berusaha tidak meneteskan air mata.
“Sekarang cepat habiskan sarapanmu. Nanti kamu terlambat.”
Ardi bergegas menghabiskan sarapannya. Lalu bangkit mengambil tas punggungnya. Ia langsung berlari menuju sekolah setelah mencium tangan kedua orang tuanya. Semangatnya menyala kembali.
Sesampainya di sekolah, Ardi kembali belajar sebagaimana biasa. Ia sudah tidak sedih lagi. Ia sangat yakin, kali ini ayahnya akan memenuhi janjinya. Ia mulai membayangkan betapa senangnya nanti kalau sudah memiliki sepeda. Ia akan ikut dengan teman-temannya bersepeda sepulang sekolah. Ia sudah tak sabar menanti hari-hari itu
Tiba-tiba bapak Kepala Sekolah masuk ke kelas Ardi. Beliau mengumumkan sesuatu. sebuah kabar duka cita.
“Anak-anak sebelum pelajaran kalian diteruskan kembali, bapak ingin mengumumkan kabar duka cita. Ayah dari teman kita, Fuadi yang hari ini tidak masuk, telah dipanggil oleh Allah SWT tadi malam karena tenggelam di laut.
Memang akhir-akhir ini keadaan laut sangat tidak bersahabat. Badai selalu datang mengamuk. mengaduk laut. Sehingga penduduk di sini yang sebagian besar bermata pencahariaan sebagai nelayan, tidak berani mancari ikan karena takut di makan amukan laut, Seperti ayahanda teman kita ini. Untuk itu mari kita berdoa untuk ayahanda teman kita, serta untuk kita, orang tua kita, dan seluruh penduuk di desa ini, semoga selalu dalam perlindungan Allah SWT. Amiiin… Berdoa mulai…”
Semuanya tertunduk, khusyu. Berdoa menurut keyakinan masing-masing. Namun Ardi tidak. Ia cemas. Pikirannya tertuju kepada ayahnya. Ia takut membayangkan ayahnya yang memaksakan diri untuk berlayar demi mencari uang untuk membelikannya sepeda. Hatinya gelisah membayangkan sesuatu yang sangat tidak diinginkan yang akan terjadi dengan ayahnya nanti di tengah laut.
Ia menjadi tidak konsentrasi dengan pelajaran. Ia sangat ingin pulang untuk mamastikan ayahnya tidak pergi melaut. Tetapi ia tidak berani untuk meminta izin kepada gurunya untuk pulang lebih awal. Karena ia tidak punya alasan kuat untuk itu.
Waktu berjalan sangat lambat. Ardi semakin resah dan panik. Berkali-kali ia menengok ke arah jam dinding. Tak sabar menanti waktu pulang. Namun waktu semakin lambat bergerak, membuat hatinya semakin gusar.
Akhirnya bel pun berdering panjang. Waktu pulang pun tiba. Ardi langsung bergegas membereskan alat tulisnya. Lalu langsung lari sekencang-kencangnya meninggalkan sekolah. Ia berharap setibanya di rumah, ia masih melihat ayahnya sedang membetulkan atap rumah yang sering bocor ketika hujan lebat, atau sedang memperbaiki lemari pakaian yang sudah keropos dan hampir rubuh. Dalam hatinya, Ardi berjanji akan membatalkan keinginannya untuk memiliki sepeda jika ia masih berjumpa ayahnya di rumah.
Ardi menyesali kejadian tadi pagi. Ia mulai sadar, permintaanya untuk dibelikan sepeda sangat membebani ayah. Ayah yang hanya seorang  nelayan telah berjuang mempertaruhkan nyawanya di atas ganasnya laut demi mencukupi kehidupan dan pendidikannya. Ia seharusnya tidak lagi membebani sang ayah dengan permintaan yang sangat berat untuk dapat dipenuhi. Ardi menangis. Namun ia tetap terus berlari.
Tiba di rumah, firasat buruknya sejak tadi semakin ia rasakan. Ia hanya melihat ibu sedang duduk di teras rumah seorang diri. Wajah ibu pucat. Walaupun air matanya tak menetes, tetapi tampak jelas wajah ibu sangat sedih dan pilu. Tatapan mata ibu kosong, lurus ke arah laut. Seakan marah terhadap laut.
Ardi sudah tak berdaya. sekujur tubuhnya lemas. Nafasnya terengah-engah, hampir habis. Ia merasa sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi.  Air matanya semakin deras menetes. Dikumpulkan sisa-sisa tenaganya. Lalu berlari masuk ke dalam rumah. Di hampiri lemari tempat biasa ayah menaruh jala dan peralatan lainnya untuk melaut. Akan tetapi kosong. Isinya telah dibawa oleh sang pemiliknya untuk berjuang menantang maut. Menantang ganas nya laut.
Ardi sudah tak sanggup lagi menahan tangisnya. Ia kembali berlari sekuat tenaga. Kali ini tujuannya adalah laut yang terletak beberapa ratus meter di depan rumahnya.
Langit mulai tampak mendung. Angin bertiup kencang. Cuaca mulai memburuk. Ardi tetap terus berlari. Menerobos ilalang yang tumbuh di antara pohon-pohon kelapa yang tumbuh tinggi menjulang. Menapaki pasir-pasir pantai yang berjumlah ribuan. Menendang-nendang riak-riak ombak yang berkejeran. Ia terus berlari. Tak peduli air laut terus membasahi tubuhnya. Seperti ingin mengejar seseorang yang akan pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
“Ayyyyyyyaaaaaaaahhhhhhh……!!!”
Teriakannya lenyap ditelan gemuruh ombak yang semakin ganas. Pecah disambar halilintar yang bergelegar. Tanda badai besar akan datang. 

Sabtu, 15 Mei 2010

Banjir...!!!

Mungkin karena saking serunya menyaksikan kehebatan tim ganda Indonesia melumat Jepang dalam perebutan Piala Thomas 2010 yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, saya tidak sadar kalau ternyata di luar hujan turun sangat deras. Sederas nasionalisme saya ketika itu. Ya, mungkin hanya ketika itu. Entah kenapa rasa cinta dan bangga terhadap negeri sendiri timbul dalam diri saya hanya pada saat menonton bulu tangkis. Selain dari itu, saya cenderung muak dengan keadaan negeri ini yang semakin menyedihkan: wan prestasi, hobi korupsi, dan sebaginya.

      Dan ternyata hujan deras yang menurut saya tidak terlalu lama ini berbuah banjir di sana-sini.

        Ya beginilah kota Jakarta. Sebagai ibukota negara, sebagai kota metropolitan, masalah banjir masih selalu menghantui warganya. Jika hujan deras datang sebentar saja, banjir langsung terjadi. Ada hujan, ada banjir, mungkin begitu ungkapannya.


         Omong masalah banjir, saya menjadi ingat sebuah cerita fantastis dan mengesankan yang pernah diceritakan oleh ayah saya dulu. Sampai sekarang masih sangat jelas dalam ingatan saya cerita itu.

            Ceritanya begini:

            Alkisah ada seorang yang sudah berusia cukup tua. Ia adalah__ayah saya menyebutnya al-abid__orang yang rajin beribadah. Ia tinggal disebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah itu sangat dekat letaknya dengan sebuah sungai.

Suatu ketika, hujan deras datang berturut-turut, tidak kunjung berhenti dalam beberepa hari. Para warga yang tinggal di dekat sungai tersebut pun mulai melakukan pengungsian karena sadar banjir akan datang. Mereka menyelamatkan semua hal yang mereka miliki dan mereka cintai, termasuk diri mereka dan keluarga. Namun, berbeda dengan warga lainnya, orang tua tersebut tak kunjung melakukan pengungsian. Ia hanya berdiam diri di dalam rumahnya yang sedang terancam kebanjiran itu. Dirinya sangat yakin, Dalam keadaan seperti ini, Tuhanlah yang akan menolongnya. karena ia telah rajin beribadah kepada-Nya.

Akhirnya, seperti yang telah diduga sebelumnya, banjir besar pun datang. Tanpa pilih kasih, tanpa pilih sayang, tanpa ampun, tanpa kasihan, ia menenggelami semua yang dilewati, semua yang dihampiri. Temasuk rumah kecil milik orang tua yang rajin beribadah tersebut.

Dalam waktu singkat, banjir telah mencapai setinggi lutut orang dewasa. Orang tua itu tidak kunjung berniat untuk mengungsikan dirinya. Dia hanya berdiam diri di dalam rumahnya saja, tidak ada usaha untuk menyelamatkan dirinya. Sampai akhirnya datanglah seorang anak muda yang bermaksud menolong orang tua tersebut. Namun orang tua tersebut menolak seraya berkata:

“Hai anak muda, kau tidak perlu repot-repot menolongku. Karena aku yakin, Tuhanlah yang akan menolong aku. Karena aku telah menghabiskan waktuku untuk beribadah kepada-Nya.”

Anak muda tersebut pun pergi meninggalkan orang tua yang tak mau ditolong itu.

Selang beberapa waktu kemudian, banjir semakin meninggi karena hujan tak kunjung berhenti. Kini banjir sudah setinggi kurang lebih satu meter. Namun si ahli ibadah itu tak juga keluar dari rumahnya. Sampai akhirnya datanglah seorang relawan sebuah LSM dengan perahu karetnya yang sedang mencari korban yang masih terperangkap banjir. Relawan tersebut menemukan orang tua itu dan mengajaknya untuk naik ke atas perahu, bermaksud ingin menolongnya.

“Naiklah ke atas perahu! Banjir akan semakin besar dan mengerikan.” Ucap relawan tersebut kepada orang tua itu.

“Tidak perlu! Karena Tuhanlah yang akan menolongku.”

Akhirnya relawan tersebut pun pergi. Orang tua itu tetap tidak mau menerima pertolongan dari siapapun. Padahal, banjir semakin hari semakin besar. Hujan semakin deras dari hari ke hari.

Sampailah pada akhirnya banjir menenggelami seluruh rumah di daerah itu. Seluruh rumah di wilayah itu kini hanya terlihat atapnya saja, sisanya terendam banjir. Rumah orang tua itu pun begitu. Ia terpaksa menyelamatkan dirinya dengan naik ke atas atap rumahnya. Nyawanya sudah sangat terancam karena tidak ada tanda-tanda banjir akan reda dan hujan akan berhenti. Sementara penduduk lain semuanya telah mengungsi.

Tidak ia sangka, sebuah helikopter dating untuk menyelamatkannya. Namun lagi-lagi ia menolak. Sebab ia sangat yakin Tuhan lah yang akan menolongnya. Karena ia telah merasa berbakti kepada-Nya, jadi mana mungkin Tuhan tidak menolongnya? Begitulah pikirnya.

Seorang petugas yang berada di dalam helikopter tersebut terus berteriak-teriak meminta agar orang tua yang tidak mau diselamatkan itu untuk naik ke helikopter itu.

“Pak tua, naiklah ke helikopter ini. Banjir akan semakin besar dan menenggelamkan mu! Setelah ini ‘tak akan ada lagi yang akan mampu menolongmu. Naiklah!” petugas tersebut berusaha terus membujuk orang tua itu.

 “Tuhan pasti menolongku!”

Orang tua tersebut tetap tidak mau untuk ditolong. Dan malang nasibnya, banjir semakin besar. Ia pun tenggelam. Dan ajal pun menjemputnya.

Saat menghadap Tuhan, orang tua tersebut mencoba protes kepada Tuhan:

“Ya Tuhan, bukankah aku telah mengabdi hanya kepada-Mu dengan sepenuh hati dan jiwaku. Tetapi mengapa Engkau tidak menolongku ketika itu di saat aku membutuhkan pertolongan hanya dari-MU?”
Tuhan pun berkata :

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah berkali-kali mengirimkan pertolongan-Ku kepadamu melalui hamba-hamba-Ku yang datang untuk menolongmu.

Ketika banjir masih belum terlalu tinggi, Aku dengan kasih sayang-Ku kepadamu telah mengirimkan seorang anak muda untuk menolongmu. Namun kau menolak pertolonganku.

Aku masih terus berusaha menolongmu setelah itu. Ketika banjir mulai ganas dan sudah mencapai satu meter tingginya, Aku berusaha menolongmu melalui seorang hamba-Ku yang datang dengan sebuah perahu karetnya. Ia telah Aku perintahkan untuk membantumu menyelamatkan dirimu. Akan tetapi, lagi-lagi kau menolak pertolongan-Ku.

Dan terakhir, ketika banjir sudah sedemikan besarnya, sehingga kau sudah tidak memungkinkan lagi untuk bisa selamat, Aku dengan sifat kasih sayang-Ku masih berusaha untuk menyelamatkanmu dengan mengirimkan sebuah helikopter agar dapat membawamu ke tempat yang aman. Namun, kau tetap tidak mau untuk Aku selamatkan. Akhirnya kau pun tenggelam karena menolak pertolongan-Ku. Itulah pilihanmu, hai hamba-KU!”

Semoga kita dapat mengambil hikmah dari cerita di atas.





Dalan hadits kudsi-Nya, Allah telah berfirman :

“ Dalam keheningan yang mengelilingi setiap seruan

'Ya Allah!'

  Menanti seribu jawaban


   'Aku di sini.'  "




Siang ketika rindu,15 mei 2010.
14.15 WIB

Senin, 10 Mei 2010

Lalat dan Jidat


Lalat dan Jidat

Galih seorang pemalas. Walaupun sudah cukup berusia, namun ia masih tidak mau bekerja. Ia hanya menganggur setiap hari. Ia lebih senang nongkrong di warung kopi, membicarakan hal-hal yang tidak penting dan hanya membuang-buang waktunya, bersama orang-orang lain sesama pengangguran.
            Suatu hari, ia melihat seorang gadis cantik melintas di hadapannya. Gadis itu berkulit putih. Hidungnya mancung. Dan yang lebih menarik hati Galih adalah bentuk tubuh gadis itu yang sangat aduhai. Galih jatuh cinta kepadanya. Ia sangat ingin berkenalan dengan gadis itu.
            Gadis itu bernama Mirna. Ia adalah anak dari seorang pemilik panti asuhan di kampung sebelah. Galih memutar otaknya. Mencari cara agar ia dapat berkenalan dengan gadis itu. Akhirnya ia mendapatkan ide. Ia akan berpura-pura menjadi gelandangan agar ia dapat diterima untuk tinggal di panti asuhan itu. Dan setelah ia tinggal di situ, ia merasa akan lebih mudah untuk berkenalan dengan gadis itu. Galih pun mulai menyusun rencana secara matang.
            Rencana Galih berhasil. Setelah ia berhasil berpura-pura menjadi gelandangan dengan memakai pakaian yang compang-camping dan tubuhnya yang sengaja dibuat supaya terlihat kotor, ia pun diajak pak Haji Samin, sang pemilik panti asuhan, untuk tinggal di panti asuhannya.
            “memangnya nama kamu siapa, nak?” pak Haji Samin menanyakan identitas Galih yang sedang berpura-pura menjadi gelandangan itu.
            “Nama saya Jidat, Pak Haji!” jawab galih berbohong.
            “kok nama kamu aneh sekali?” sekarang giliran bu Haji Minah, istri pak Haji Samin, yang bertanya.
            “memang sudah dari sananya nama saya seperti itu, Bu Haji!”
            Pak Haji Samin dan istrinya pun percaya dengan ucapan Galih tersebut. Mereka pun mengantarkan Jidad alias Galih ke asrama tempat Galih akan tinggal. Sesampainya di sana galih bertemu dengan penghuni-penghuni asrama lain yang sudah lama tinggal di panti asuhan ini.
            “Nama saya Jidat…  Nama saya Jidat… Jidat…Jidat…” sambil tersenyum dan bersalaman, Galih alias Jidatd mulai memperkenalkan namanya kepada mereka satu per satu.
            Keesokan harinya, Galih melihat gadis yang dulu ia jumpai, yaitu Mirna, putri satu-satunya pak Haji Samin. Mirna sedang menyiram tanaman di depan rumahnya.
            “ini kesempatan,” gumam Galih dalam hati.
            Galih pun keluar dari asrama dan menghampiri Mirna. Namun ketika berhadapan dengan Mirna, Galih hanya berdiri mematung tidak jauh dari hadapan Mirna.
            Melihat orang baru yang sedang berdiri di hadapannya, Mirna memanggilnya.
            “Hei kamu! Anak baru ya? Tolong ambilkan seember air dong di belakang! Cepat ya!” pinta Mirna kepada Galih.
            Tanpa banyak basa basi, galih langsung menuju pekarangan belakang rumah Pak Haji Samin untuk mengambil seember air yang diminta Mirna. Tak lama kemudian Galih kembali membawa ember berisi air, lalu diberikan kepada Mirna.
“Terima kasih ya,” ucap Mirna basa-basi, “oh iya, nama kamu siapa?”
            “Nama saya Lalat, neng.” Galih kembali berbohong dalam memberitahukan namanya.
            “Loh, kok nama kamu aneh sekali?” Tanya Mirna, tidak percaya.
            “memang sudah dari sananya nama saya seperti itu, neng.”
            Mirna pun percaya. Kemudian mereka pun ngobrol cukup lama sampai akhirnya Mirna selesai menyirami tanamannya. Mirna pun masuk ke rumah diiringi tatapan senang Galih.
            “Yes! Berhasil.” Teriak galih, sangat senang.
            Tiba pada suatu hari, hari jumat siang tepatnya, ketika pak Haji Samin dan seluruh penghuni panti asuhan yang laki-laki sedang menunaikan ibadah Shalat Jumat, Jidad melakukan aksinya. Ia mengendap-endap masuk ke kamar Mirna lewat pintu belakang rumah pak Haji Samin. Rumah pak Haji Samin sangat sepi. Hanya ada istrinya yang sedang menjahit di ruang tengah, dan Mirna sedang baca buku di kamarnya.
            Galih berhasil sampai ke depan pintu kamar Mirna tanpa sepengetahuan bu Haji Minah. Ia langsung buka pintu kamar Mirna dan masuk ke dalam kamar.
            Melihat ada orang masuk ke kamarnya tanpa permisi, Mirna kaget dan berteriak sekencang-kencangnya.
            “Aaaaaaahhhhhhhh, iiiiiiibbbbuuuuuuuu…!!! Mirna memanggil ibunya. Galih panik.
            “Ada apa Mirna? Kenpa teriak-teriak gitu?” Sahut ibu dari ruang tengah mendengar teriakan Mirna yang memanggilnya.
            “Ada Lalat Bu masuk ke kamar Mirna!” balas Mirna dengan suara keras, ketakutan. Galih semakin panik dan bingung harus melakukan apa. Dia sudah terlanjur bertindak bodoh. “Habislah Aku hari ini.” Ucapnya dalam hati.
            “Ya ampun, Mirna! Lalat masuk ke kamar kamu aja sampai segitunya. Tinggal semprotkan obat anti serangga aja, nanti juga pergi lalatnya.” Bu Haji Minah belum tahu bahwa sebenarnya yang masuk ke kamar anaknya bukanlah lalat seekor serangga, melainkan Galih, penghuni baru panti asuhan yang Mirna mengenalnya dengan nama Lalat.
            “Ini bukan Lalat serangga, Ibuuuuu! Ini Lalat yng kurang ajarrrrrrrr…!!!” teriakan Mirna semakin keras. Ibu pun penasaran. Lalu menghampiri kamar Mirna.
            Tiba di kamar Mirna, ibu kaget melihat si Jidad alias Galih juga berada di situ.
            “Kurang ajaarrrr..!!!” teriak Bu Haji, lalu mengambil sebuah sapu dan akan di gunakan untuk memukul seorang pria yang telah berkelakuan kurang ajar di dalam rumahnya itu.
            Menyadari situasi semakin gawat, Galih langsung kabur keluar kamar. Lalu ia langsung kabur melarikan diri ari kejaran bu Haji yang terus mengejarnya.
            “Dasar sialan! Jangan lari kau! Tak tahu diuntung!” Bu haji terus mengejar Galih yang semakin pontang-panting. Galih pun memutuskan kabur ke luar rumah. Ia ingin melarikan diri keluar panti asuhan.
            Sementara di luar rumah, pak Haji Samin dan anak-anak penghuni panti yang lain baru selesai menunaikan ibadah shalat jumat. Mereka bingung melihat bu haji sedang berlari-lari mengejar Jidad.
            “Pegaaaang Jidaaaaaad!!!” teriak bu Haji. Bermaksud memberi perintah kepada suami dan anak-anak yang lain untuk menangkap si Jidad yang sedang lari terbirit-birit ke luar panti asuhan.
            Namun pak Haji dan anak-anak lain salah mengerti terhadap yang diperintahkan bu Haji. Mereka malah memegang jidat atau kening mereka masing-masing.
            

Selasa, 04 Mei 2010

Berduka

Sepulang kuliah, ada kabar cukup tidak enak sampai ke telinga.

"Ayah temanmu itu, si Ibnu, Bapak Haji Marzuki, meninggal dunia barusan." Ibuku bilang begitu.

Aku yang capek karena baru pulang tambah capek mendengar itu. Artinya hari ini nyaris tidak ada istirahat.

Di handphoneku pun kuterima kabar serupa, dari kawanku, ketua remaja mushollah. Ia mengajak untuk melayat bersama. Aku setuju. setelah Ishoma *Istirahat, Sholat, Mandi, aku mengenakan pakaian ter-sholeh ku, baju taqwa berwarna krem dan sarung gajah duduk, tanpa kopiah. Kemudian menuju rumah duka.

Ternyata teman-temanku juga sudah banyak yang datang, termasuk teman-teman smp aku dan si Ibnu, yang berduka. Adapun aku datang sesuai cerita, bersama remaja Mushollah. kami pun masuk ke rumah duka. Memberikan salam belasungkawa kepada keluarganya, lalu duduk menghampiri sang jenazah. Aku gugup, jantungku kencang berdegup.

Tanpa basa-basi, kami memulai mendoakannya. Memimpin ketua remaja musholah, surat Yasin pun mengalun dibaca bersama.

"Yaaasiiiin, Walquranilhakim. Innakalaminal mursaliin......."

Mataku tak berpaling dari jenazah yang terlihat damai itu. Mungkin, setelah lelah memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan di alam fana ini, ia mulai merasa lega dengan segal yang ia capai. Tugasnya telah selesai. Aku terus memperhartikan orang tua temanku yang sudah tak bernafas itu. Dari wajah yang ia pancarkan di akhir hayatnya ini, dari ekspresi sanak keluarga yang telah ia tinggalkan, aku mengambil kesimpulan ia adalah orang tua yang baik. Ia sukses menjalani perannya sebagai Ayah.

Tiba-tiba pemandangan di hadapanku ini, lamunanku ini, mengingatkanku pada apa yang aku alami dua tahun lalu. Sama persis. Tubuh yang terbujur kaku dihadapanku kembali mengingatkanku pada sosok yang juga pernah terbaring seperti ini di hadapanku.

Sosok itu mempunyai stok kasih sayang yang tak pernah habis. Ia jarang bicara. Namun apa yang ingin kau ketahui tentang hidup ini, dapat kau pelajari dari dirinya hanya dengan memperhatikan gerak-gerik dan apa yang dikerjakannya sepanjang hari. Dialah idolaku selamanya.

Untuk kesekian kalinya aku merasakan kangen yang tidak dapat kujelaskan.