Minggu, 12 Juni 2011

Perkenankan, saya memperkenalkan: si Pian


Kitalah manusia, yang selalu memiliki beribu alasan untuk menolak kebahagiaan.

Panggil dia “si Pian”. Si ibu biasanya memanggilnya dengan huruf a yang sedikit dipanjangkan: Piaaaaaan! Kadang itu sebagai bentuk ungkapan pemanjaan. Kadang itu sebagai teguran atas kenakalan.

Ya, memang si Pian ini sedikit nakal. Tapi menurut saya dia tidak nakal. Dia hanya bahagia. Berusaha bahagia lebih pasnya.

Terlanjur lahir dengan menyandang predikat penderita sindrom kemerosotan membuat dia selalu melakukan hal-hal yang  mendatangkan kesenangan hanya untuk dirinya. Asik sendiri. Tidak peduli apakah itu kenakalan bentuknya, kejahilan, kekonyolan dilakukan saja asal membuat dia senang. Tak heran banyak orang yang  sangat tidak bersimpati dengannya. Kadang ia dipukul, dimarahi, dihina, dicaci, dikotori oleh sebagian  orang  yang sudah tidak tahu lagi di mana letak hati nurani.

Kalau saya sih, menganggap bocah yang tidak tahu berapa umurnya itu sebagai mata kuliah  “Praktik Kebahagiaan”  yang  diberikan Universitas Kehidupan. Malah,  teman saya lebih sadis lagi. Dia menganggap si Pian itulah kebahagiaan. Karena, kebahagiaan yang ia miliki tidak terbatasi dengan hal apapun,  termasuk kekurangan pada diri.

Si Pian tidak tahu apa itu merah.  Dia tidak tahu bagaimana bentuk angka satu sampai sepuluh. Dia belum bisa berbicara. Yang dia tahu, dia bahagia. Mungkin itu saja.

Dia senang bermain seperti anak kecil kebanyakan. Dia hobi di foto. Suka jajan. Tertawa dan bernyanyi juga sangat disukainya. Walau tak jarang semua itu dilakukan seorang diri, namun sedikit pun dia tidak peduli.

Tapi pernah kalian mengira, bahwa orang seperti dia sangat rajin mematuhi perintah Tuhan dan orang tuanya? Tanpa menuntut hak apapun yang belum, atau bahkan tidak akan dia dapati, dia jalankan saja apa yang menjadi kewajiban atasnya.

Hampir setiap panggilan solat dikumandangkan, saya selalu melihatnya terjingkrak-jingkrak menuju musolah untuk melaksanakan kewajiban. Kewajibannya sebagai hamba Tuhan selalu dijalankan tanpa banyak komentar. Tanpa banyak tanya, apalagi protes.

Jika ia disuruh membuang segondol sampah, maka dibawalah itu sampah, diseret-seret, digotong, diseret lagi, dipikul, dijinjing, diseret-seret lagi sampai kesebuah tempat pembuangan sampah yang cukup jauh jarak dari rumahnya. Tanpa pernah mengeluh, tanpa berkesah. Bahkan dengan ceria tiada tara.

Jika ia disuruh orang tuanya membeli sesuatu di warung, ia langsung meresponnya dengan cepat, lebih cepat dari saudara tua kandungnya yang jauh lebih normal dan bertenaga. Maka dikeluarkanlah sepeda, meski tak ditunggangi hanya dituntun saja sampai ke warung tujuan. Setelah barang yang harus dibelinya telah didapatkan, kembalilah ia dengan menuntun sepeda juga. Dia lakukan begitu, mungkin karena ingin seperti orang-orang yang kemana-mana selalu berkendara.

Suatu ketika ada seorang bocah terjatuh dari sepeda. Bocah itu menangis sejadi-jadinya. Sebelum ada yang memperdulikan itu bocah, si Pian lebih dulu menolongnya. Ia mengangkat sepeda yang menghimpit bocah tersebut, lalu membangunkan si bocah yang terluka. Tidak hanya sampai di situ saja, ia juga mengusap air mata yang menetes di wajah bocah ingusan itu, sambil mengucapkan sebuah kata yang tak jelas lafalnya. Mungkin “sudah, jangan menangis, ya!” maksud ucapannya. Dan saya yang menyaksikan hal itu, hampir melakukan hal yang sama seperti si bocah.

Pada sebuah perbatasan senja yang hampir habis, ketika orang-orang selesai dengan ibadah di waktu magrib, saya melihat dia sedang khusyuk mengangkat keduatangannya. Lirih, parau, jelek, bahkan seperti sedih, serta samar-samar terdengar satu kata yang keluar dari bibirnya, yang mungkin memiliki seribu makna baginya:

“ya Allah”.

Saya tertegun mendengarnya, merinding hati ini sebagai saksinya.

Hingga kini, si Pian selalu menjadi sedikit inspirasi dalam menjalani kehidupan yang kebahagiaan selalu menjadi, masih menjadi, harus menjadi harapan buat saya. Dalam segala kondisi, dalam segala keadaan, dalam menjalankan kewajiban. Tanpa keluhan, tanpa penyesalan. Apalagi ratapan.

Insya Allah.


#Alhamdulillah. Selain hal di atas, si Pian membuat saya menulis blog lagi. Terimakasih. :)