Rabu, 02 Februari 2011

Aku bungkus rapat-rapat ingatan ini.

"Engkau masih tetap cantik!"

Kedua tangannya sibuk menyembunyikan sesuatu. Beberapa lembar kertas berkepala resmi. Seenaknya saja dilipat dalam genggaman, asal-asalan. Sangat jelas menunjukan kepanikan dalam mempertahankan kerahasiaan isi benda itu. Aku tidak peduli pada kertas-kertas itu. Aku lebih tertarik untuk menikmati aura terkejutnya yang murni terjadi. Daya pesona yang masih tetap sama sejak dahulu.

"Aku kira aku baik-baik saja. Kau kira begitu?"

Aku belum mau menjawab. Masih ingin memuaskan diri menikmati indah wajah tanpa pemanis di hadapanku ini. Meski ia jengkel.

"Kau masih saja begitu. Tidak pernah berubah dan tidak menyenangkan."

"Tanyakanlah sedikit kabar. Atau basa-basi yang lain. Sedikit saja. Jangan begitu!"

Aku hanya tersenyum. Tersenyum melihat wajah jengkel itu, yang bikin aku ingin segera tidur, lalu bermimpi. Mimpi dia tentunya.

"Kapan terakhir kali? Ah, sudah lama sekali, aku sudah tidak pernah lagi mendengar cerita-cerita fantastis darimu?"

Ia menghela nafas. Berdiri hendak pergi.

"Kabari aku jika kamu sudah seperti dulu. Nyaman dan menyenangkan. Aku tidak perlu hal lain yang berlebihan."

Wanginya hampir pergi. Tapi aku tidak akan melewati ini begitu saja. Ini sudah jarang sekali terjadi.

"Akan tetapi," berusaha mencari kalimat yang paling sederhana, "Engkau masih tetap cantik!"

"Ah, apapun itu, aku tidak dengar. Meski seisi kampus ini mendengar."

"Ya. Karena aku mengatakannya dari dalam hati sedalam-dalamnya."

"Tentu aku tidak dengar."

"Meski aku mau dengar."

Dia pergi. Aku tersenyum mendengar kalimat terakhirnya. Begitupula dengan ia.

"Percaya saja saya,"

Lagi. Kuucapkan dari dalam hati.

"Engkau masih tetap cantik."

Namun ia tetap pergi.


*Kios fotokopi kampus.
Ah, saya lupa mencatat waktunya!
Grrrrrrr!!!!!!!!!!