Jumat, 28 Februari 2014

Jadi, inilah si Budi. Ia tidak kuyup menggigil


“Jadi pakai apa mas?”

Saya tersadar dari lamunan ketika suara si mbak penjaga warteg itu menegur. Akhirnya saya memutuskan untuk memilih telur dadar dengan sedikit sambal beserta kuah sayur sebagai lauk nasi. Yah, untuk makan siang hari ini, itu saja cukup.

Awalnya saya ingin memesan sepiring nasi dengan lauk yang enak-enak. Seperti gulai ayam, rendang paru, ati ampela, tempe orek pedas manis, atau yang lainnya. Namun saya urungkan niat tersebut, karena tepat di sebelah saya seorang bocah sedang lahap memakan nasi hanya dengan dibumbui kecap dan selembar tempe goreng. Saya agak iba melihatnya.

“Abang boleh makan apa aja kok, Bang. Saya gak apa-apa.” Ucap bocah itu enteng. Seolah ia bisa menebak apa yang terlintas di benak saya.

“Ah, emang biasa begini kok.” Jawab saya takut menyinggung perasaannya. Setelah itu, sambil makan, saya mulai menanyainya beberapa pertanyaan.

Jadi, bocah ini namanya Budi. Umurnya tiga belas tahun. Ia tinggal di sekitaran ciledug.

“Ke sini naik apa?”

“Odong-odong.” Jawabnya sambil menunjuk sebuah odong-odong yang terparkir di luar warteg.

Karena semakin heran, saya mulai banyak tanya. Semula ia hanya menjawab sekedarnya. Tapi lama kelamaan, ia menjadi asyik bercerita. Jujur, saya sangat tertarik mendengar ceritanya. Karena ia menceritakan tentang betapa buruk hidupnya dengan gaya bicara yang sangat riang. Polos. Seperti tidak ada beban sedikitpun.

“Kenapa tidak sekolah?”

Karena harus bekerja, ia berhenti sekolah, katanya. Budi memiliki dua orang adik yang masih duduk di sekolah dasar. Bapaknya entah ke mana. Ibunya seperti mayat hidup di rumah. Entah sakit apa, si Ibu nyaris tak sanggup lagi untuk sekedar bangun dari berbaring. Badanya bergetar, lemas dan keluar keringat dingin kalau kelamaan berdiri. Jangankan untuk kerja berat, sekedar berdiri saja sudah seperti itu.

“Awalnya ibu bilang sakit mag. Kalau makan pasti muntah.” Ujarnya.

Karena kondisi si ibu seperti itu, kini Budi mengambil alih semua pekerjaan rumah tangganya. Setiap hari, ia bangun pagi-pagi betul untuk mengantar koran ke rumah-rumah. Setelah selesai, ia kembali untuk mengemasi adik-adiknya berangkat ke sekolah, kemudian mengantar mereka dengan sepeda.

Setelah beres, ia kembali ke rumah. Berbenah. Kemudian mengurus ibunya yang terkadang berbicara yang aneh-aneh. Budi bilang, salah seorang dokter dari beberapa dokter yang pernah ia datangi untuk mengobati ibunya berkata bahwa ibunya sakit akibat kelewat stres, terlalu banyak pikiran. Mungkin si ibu sulit menerima kenyataan harus mengurus tiga orang anaknya yang belum dewasa seorang diri, yang dianggapnya sebagai beban.

“Kalau siang baru saya keliling bawa odong-odong punya tetangga. Enak, setorannya berapa aja.” Budi menjawab pertanyaan yang muncul di benak saya sejak tadi. Sebelumnya dia juga bilang, kalau hari sabtu minggu kadang dia ikut katering acara orang nikahan. Lumayan bayarannya.

“Kalau narik odong-odong capek genjotnya doang. Tapi seru, bisa ngehibur anak kecil.”

Budi bercerita, sering kali ada seorang bocah menangis di hadapannya karena saking inginnya naik odong-odong. Maka ia menaikkan bocah cengeng tadi ke odong-odongnya dengan gratis.

“Soalnya saya kasihan bang ngeliatnya.” Ucapnya yang membuat hati saya benar-benar terharu lagi teriris.

Selesai makan, saya mengeluarkan uang bermaksud membayar makanan saya dan Budi sekalian. Seperti telah menebak niat saya, Budi buru-buru menyerahkan uangnya ke pelayan warteg. Saya berusaha mencegah, namun gagal. Budi menolak untuk dibayarkan makan siangnya.

“Yaudah. ini Bud, buat kamu. Anggap aja gantiin bayaran anak-anak kecil yang naik odong-odong kamu tapi gak bayar.” Ucap saya seraya menyerahkan selembar lima puluh ribuan. Lagi-lagi ia menolak.

“Kalau abang bayar, nanti saya gak dapet pahala dong karena udah nyenengin anak-anak kecil itu.” jawabnya polos sambil cengengesan. Kemudian ia pamit untuk mulai mencari nafkah lagi.

Melihat ia berlalu dengan menggenjot odong-odong yang kadang harus dengan tenaga ekstra  sampai urat-uratnya tampak, perasaan saya campur aduk. Di usia yang belum seharusnya itu, ia sudah sanggup menantang kerasnya hidup dengan perasaan seolah-olah itu tidak apa-apa. Jelas sekali betapa di usianya yang masih sangat remaja ia sudah mengerti arti tanggung jawab, pengorbanan, dan rasa syukur.

Yang lebih membuat batin saya terasa tertonjok, ia masih bisa berbuat baik kepada orang lain dalam keadaan di mana nasib memperlakukan dirinya dengan tidak baik.

“Ah, anak sekecil itu.”

Desember terik, bintaro setengah satu siang. 2013

*repost dari inspirasi.co
tulisan lomba yang tidak menang :') 

“Jadi pakai apa mas?”

Saya tersadar dari lamunan ketika suara si mbak penjaga warteg itu menegur. Akhirnya saya memutuskan untuk memilih telur dadar dengan sedikit sambal beserta kuah sayur sebagai lauk nasi. Yah, untuk makan siang hari ini, itu saja cukup.

Awalnya saya ingin memesan sepiring nasi dengan lauk yang enak-enak. Seperti gulai ayam, rendang paru, ati ampela, tempe orek pedas manis, atau yang lainnya. Namun saya urungkan niat tersebut, karena tepat di sebelah saya seorang bocah sedang lahap memakan nasi hanya dengan dibumbui kecap dan selembar tempe goreng. Saya agak iba melihatnya.

“Abang boleh makan apa aja kok, Bang. Saya gak apa-apa.” Ucap bocah itu enteng. Seolah ia bisa menebak apa yang terlintas di benak saya.

“Ah, emang biasa begini kok.” Jawab saya takut menyinggung perasaannya. Setelah itu, sambil makan, saya mulai menanyainya beberapa pertanyaan.

Jadi, bocah ini namanya Budi. Umurnya tiga belas tahun. Ia tinggal di sekitaran ciledug.

“Ke sini naik apa?”

“Odong-odong.” Jawabnya sambil menunjuk sebuah odong-odong yang terparkir di luar warteg.

Karena semakin heran, saya mulai banyak tanya. Semula ia hanya menjawab sekedarnya. Tapi lama kelamaan, ia menjadi asyik bercerita. Jujur, saya sangat tertarik mendengar ceritanya. Karena ia menceritakan tentang betapa buruk hidupnya dengan gaya bicara yang sangat riang. Polos. Seperti tidak ada beban sedikitpun.

“Kenapa tidak sekolah?”

Karena harus bekerja, ia berhenti sekolah, katanya. Budi memiliki dua orang adik yang masih duduk di sekolah dasar. Bapaknya entah ke mana. Ibunya seperti mayat hidup di rumah. Entah sakit apa, si Ibu nyaris tak sanggup lagi untuk sekedar bangun dari berbaring. Badanya bergetar, lemas dan keluar keringat dingin kalau kelamaan berdiri. Jangankan untuk kerja berat, sekedar berdiri saja sudah seperti itu.

“Awalnya ibu bilang sakit mag. Kalau makan pasti muntah.” Ujarnya.

Karena kondisi si ibu seperti itu, kini Budi mengambil alih semua pekerjaan rumah tangganya. Setiap hari, ia bangun pagi-pagi betul untuk mengantar koran ke rumah-rumah. Setelah selesai, ia kembali untuk mengemasi adik-adiknya berangkat ke sekolah, kemudian mengantar mereka dengan sepeda.

Setelah beres, ia kembali ke rumah. Berbenah. Kemudian mengurus ibunya yang terkadang berbicara yang aneh-aneh. Budi bilang, salah seorang dokter dari beberapa dokter yang pernah ia datangi untuk mengobati ibunya berkata bahwa ibunya sakit akibat kelewat stres, terlalu banyak pikiran. Mungkin si ibu sulit menerima kenyataan harus mengurus tiga orang anaknya yang belum dewasa seorang diri, yang dianggapnya sebagai beban.

“Kalau siang baru saya keliling bawa odong-odong punya tetangga. Enak, setorannya berapa aja.” Budi menjawab pertanyaan yang muncul di benak saya sejak tadi. Sebelumnya dia juga bilang, kalau hari sabtu minggu kadang dia ikut katering acara orang nikahan. Lumayan bayarannya.

“Kalau narik odong-odong capek genjotnya doang. Tapi seru, bisa ngehibur anak kecil.”

Budi bercerita, sering kali ada seorang bocah menangis di hadapannya karena saking inginnya naik odong-odong. Maka ia menaikkan bocah cengeng tadi ke odong-odongnya dengan gratis.

“Soalnya saya kasihan bang ngeliatnya.” Ucapnya yang membuat hati saya benar-benar terharu lagi teriris.

Selesai makan, saya mengeluarkan uang bermaksud membayar makanan saya dan Budi sekalian. Seperti telah menebak niat saya, Budi buru-buru menyerahkan uangnya ke pelayan warteg. Saya berusaha mencegah, namun gagal. Budi menolak untuk dibayarkan makan siangnya.

“Yaudah. ini Bud, buat kamu. Anggap aja gantiin bayaran anak-anak kecil yang naik odong-odong kamu tapi gak bayar.” Ucap saya seraya menyerahkan selembar lima puluh ribuan. Lagi-lagi ia menolak.

“Kalau abang bayar, nanti saya gak dapet pahala dong karena udah nyenengin anak-anak kecil itu.” jawabnya polos sambil cengengesan. Kemudian ia pamit untuk mulai mencari nafkah lagi.

Melihat ia berlalu dengan menggenjot odong-odong yang kadang harus dengan tenaga ekstra  sampai urat-uratnya tampak, perasaan saya campur aduk. Di usia yang belum seharusnya itu, ia sudah sanggup menantang kerasnya hidup dengan perasaan seolah-olah itu tidak apa-apa. Jelas sekali betapa di usianya yang masih sangat remaja ia sudah mengerti arti tanggung jawab, pengorbanan, dan rasa syukur.

Yang lebih membuat batin saya terasa tertonjok, ia masih bisa berbuat baik kepada orang lain dalam keadaan di mana nasib memperlakukan dirinya dengan tidak baik.

“Ah, anak sekecil itu.”
- See more at: http://inspirasi.co/forum/post/402/jadi_inilah_si_budi_ia_tidak_kuyup_menggigil#sthash.BpniUQgK.dpuf
“Jadi pakai apa mas?”

Saya tersadar dari lamunan ketika suara si mbak penjaga warteg itu menegur. Akhirnya saya memutuskan untuk memilih telur dadar dengan sedikit sambal beserta kuah sayur sebagai lauk nasi. Yah, untuk makan siang hari ini, itu saja cukup.

Awalnya saya ingin memesan sepiring nasi dengan lauk yang enak-enak. Seperti gulai ayam, rendang paru, ati ampela, tempe orek pedas manis, atau yang lainnya. Namun saya urungkan niat tersebut, karena tepat di sebelah saya seorang bocah sedang lahap memakan nasi hanya dengan dibumbui kecap dan selembar tempe goreng. Saya agak iba melihatnya.

“Abang boleh makan apa aja kok, Bang. Saya gak apa-apa.” Ucap bocah itu enteng. Seolah ia bisa menebak apa yang terlintas di benak saya.

“Ah, emang biasa begini kok.” Jawab saya takut menyinggung perasaannya. Setelah itu, sambil makan, saya mulai menanyainya beberapa pertanyaan.

Jadi, bocah ini namanya Budi. Umurnya tiga belas tahun. Ia tinggal di sekitaran ciledug.

“Ke sini naik apa?”

“Odong-odong.” Jawabnya sambil menunjuk sebuah odong-odong yang terparkir di luar warteg.

Karena semakin heran, saya mulai banyak tanya. Semula ia hanya menjawab sekedarnya. Tapi lama kelamaan, ia menjadi asyik bercerita. Jujur, saya sangat tertarik mendengar ceritanya. Karena ia menceritakan tentang betapa buruk hidupnya dengan gaya bicara yang sangat riang. Polos. Seperti tidak ada beban sedikitpun.

“Kenapa tidak sekolah?”

Karena harus bekerja, ia berhenti sekolah, katanya. Budi memiliki dua orang adik yang masih duduk di sekolah dasar. Bapaknya entah ke mana. Ibunya seperti mayat hidup di rumah. Entah sakit apa, si Ibu nyaris tak sanggup lagi untuk sekedar bangun dari berbaring. Badanya bergetar, lemas dan keluar keringat dingin kalau kelamaan berdiri. Jangankan untuk kerja berat, sekedar berdiri saja sudah seperti itu.

“Awalnya ibu bilang sakit mag. Kalau makan pasti muntah.” Ujarnya.

Karena kondisi si ibu seperti itu, kini Budi mengambil alih semua pekerjaan rumah tangganya. Setiap hari, ia bangun pagi-pagi betul untuk mengantar koran ke rumah-rumah. Setelah selesai, ia kembali untuk mengemasi adik-adiknya berangkat ke sekolah, kemudian mengantar mereka dengan sepeda.

Setelah beres, ia kembali ke rumah. Berbenah. Kemudian mengurus ibunya yang terkadang berbicara yang aneh-aneh. Budi bilang, salah seorang dokter dari beberapa dokter yang pernah ia datangi untuk mengobati ibunya berkata bahwa ibunya sakit akibat kelewat stres, terlalu banyak pikiran. Mungkin si ibu sulit menerima kenyataan harus mengurus tiga orang anaknya yang belum dewasa seorang diri, yang dianggapnya sebagai beban.

“Kalau siang baru saya keliling bawa odong-odong punya tetangga. Enak, setorannya berapa aja.” Budi menjawab pertanyaan yang muncul di benak saya sejak tadi. Sebelumnya dia juga bilang, kalau hari sabtu minggu kadang dia ikut katering acara orang nikahan. Lumayan bayarannya.

“Kalau narik odong-odong capek genjotnya doang. Tapi seru, bisa ngehibur anak kecil.”

Budi bercerita, sering kali ada seorang bocah menangis di hadapannya karena saking inginnya naik odong-odong. Maka ia menaikkan bocah cengeng tadi ke odong-odongnya dengan gratis.

“Soalnya saya kasihan bang ngeliatnya.” Ucapnya yang membuat hati saya benar-benar terharu lagi teriris.

Selesai makan, saya mengeluarkan uang bermaksud membayar makanan saya dan Budi sekalian. Seperti telah menebak niat saya, Budi buru-buru menyerahkan uangnya ke pelayan warteg. Saya berusaha mencegah, namun gagal. Budi menolak untuk dibayarkan makan siangnya.

“Yaudah. ini Bud, buat kamu. Anggap aja gantiin bayaran anak-anak kecil yang naik odong-odong kamu tapi gak bayar.” Ucap saya seraya menyerahkan selembar lima puluh ribuan. Lagi-lagi ia menolak.

“Kalau abang bayar, nanti saya gak dapet pahala dong karena udah nyenengin anak-anak kecil itu.” jawabnya polos sambil cengengesan. Kemudian ia pamit untuk mulai mencari nafkah lagi.

Melihat ia berlalu dengan menggenjot odong-odong yang kadang harus dengan tenaga ekstra  sampai urat-uratnya tampak, perasaan saya campur aduk. Di usia yang belum seharusnya itu, ia sudah sanggup menantang kerasnya hidup dengan perasaan seolah-olah itu tidak apa-apa. Jelas sekali betapa di usianya yang masih sangat remaja ia sudah mengerti arti tanggung jawab, pengorbanan, dan rasa syukur.

Yang lebih membuat batin saya terasa tertonjok, ia masih bisa berbuat baik kepada orang lain dalam keadaan di mana nasib memperlakukan dirinya dengan tidak baik.

“Ah, anak sekecil itu.”
- See more at: http://inspirasi.co/forum/post/402/jadi_inilah_si_budi_ia_tidak_kuyup_menggigil#sthash.BpniUQgK.dpuf
“Jadi pakai apa mas?”

Saya tersadar dari lamunan ketika suara si mbak penjaga warteg itu menegur. Akhirnya saya memutuskan untuk memilih telur dadar dengan sedikit sambal beserta kuah sayur sebagai lauk nasi. Yah, untuk makan siang hari ini, itu saja cukup.

Awalnya saya ingin memesan sepiring nasi dengan lauk yang enak-enak. Seperti gulai ayam, rendang paru, ati ampela, tempe orek pedas manis, atau yang lainnya. Namun saya urungkan niat tersebut, karena tepat di sebelah saya seorang bocah sedang lahap memakan nasi hanya dengan dibumbui kecap dan selembar tempe goreng. Saya agak iba melihatnya.

“Abang boleh makan apa aja kok, Bang. Saya gak apa-apa.” Ucap bocah itu enteng. Seolah ia bisa menebak apa yang terlintas di benak saya.

“Ah, emang biasa begini kok.” Jawab saya takut menyinggung perasaannya. Setelah itu, sambil makan, saya mulai menanyainya beberapa pertanyaan.

Jadi, bocah ini namanya Budi. Umurnya tiga belas tahun. Ia tinggal di sekitaran ciledug.

“Ke sini naik apa?”

“Odong-odong.” Jawabnya sambil menunjuk sebuah odong-odong yang terparkir di luar warteg.

Karena semakin heran, saya mulai banyak tanya. Semula ia hanya menjawab sekedarnya. Tapi lama kelamaan, ia menjadi asyik bercerita. Jujur, saya sangat tertarik mendengar ceritanya. Karena ia menceritakan tentang betapa buruk hidupnya dengan gaya bicara yang sangat riang. Polos. Seperti tidak ada beban sedikitpun.

“Kenapa tidak sekolah?”

Karena harus bekerja, ia berhenti sekolah, katanya. Budi memiliki dua orang adik yang masih duduk di sekolah dasar. Bapaknya entah ke mana. Ibunya seperti mayat hidup di rumah. Entah sakit apa, si Ibu nyaris tak sanggup lagi untuk sekedar bangun dari berbaring. Badanya bergetar, lemas dan keluar keringat dingin kalau kelamaan berdiri. Jangankan untuk kerja berat, sekedar berdiri saja sudah seperti itu.

“Awalnya ibu bilang sakit mag. Kalau makan pasti muntah.” Ujarnya.

Karena kondisi si ibu seperti itu, kini Budi mengambil alih semua pekerjaan rumah tangganya. Setiap hari, ia bangun pagi-pagi betul untuk mengantar koran ke rumah-rumah. Setelah selesai, ia kembali untuk mengemasi adik-adiknya berangkat ke sekolah, kemudian mengantar mereka dengan sepeda.

Setelah beres, ia kembali ke rumah. Berbenah. Kemudian mengurus ibunya yang terkadang berbicara yang aneh-aneh. Budi bilang, salah seorang dokter dari beberapa dokter yang pernah ia datangi untuk mengobati ibunya berkata bahwa ibunya sakit akibat kelewat stres, terlalu banyak pikiran. Mungkin si ibu sulit menerima kenyataan harus mengurus tiga orang anaknya yang belum dewasa seorang diri, yang dianggapnya sebagai beban.

“Kalau siang baru saya keliling bawa odong-odong punya tetangga. Enak, setorannya berapa aja.” Budi menjawab pertanyaan yang muncul di benak saya sejak tadi. Sebelumnya dia juga bilang, kalau hari sabtu minggu kadang dia ikut katering acara orang nikahan. Lumayan bayarannya.

“Kalau narik odong-odong capek genjotnya doang. Tapi seru, bisa ngehibur anak kecil.”

Budi bercerita, sering kali ada seorang bocah menangis di hadapannya karena saking inginnya naik odong-odong. Maka ia menaikkan bocah cengeng tadi ke odong-odongnya dengan gratis.

“Soalnya saya kasihan bang ngeliatnya.” Ucapnya yang membuat hati saya benar-benar terharu lagi teriris.

Selesai makan, saya mengeluarkan uang bermaksud membayar makanan saya dan Budi sekalian. Seperti telah menebak niat saya, Budi buru-buru menyerahkan uangnya ke pelayan warteg. Saya berusaha mencegah, namun gagal. Budi menolak untuk dibayarkan makan siangnya.

“Yaudah. ini Bud, buat kamu. Anggap aja gantiin bayaran anak-anak kecil yang naik odong-odong kamu tapi gak bayar.” Ucap saya seraya menyerahkan selembar lima puluh ribuan. Lagi-lagi ia menolak.

“Kalau abang bayar, nanti saya gak dapet pahala dong karena udah nyenengin anak-anak kecil itu.” jawabnya polos sambil cengengesan. Kemudian ia pamit untuk mulai mencari nafkah lagi.

Melihat ia berlalu dengan menggenjot odong-odong yang kadang harus dengan tenaga ekstra  sampai urat-uratnya tampak, perasaan saya campur aduk. Di usia yang belum seharusnya itu, ia sudah sanggup menantang kerasnya hidup dengan perasaan seolah-olah itu tidak apa-apa. Jelas sekali betapa di usianya yang masih sangat remaja ia sudah mengerti arti tanggung jawab, pengorbanan, dan rasa syukur.

Yang lebih membuat batin saya terasa tertonjok, ia masih bisa berbuat baik kepada orang lain dalam keadaan di mana nasib memperlakukan dirinya dengan tidak baik.

“Ah, anak sekecil itu.”
- See more at: http://inspirasi.co/forum/post/402/jadi_inilah_si_budi_ia_tidak_kuyup_menggigil#sthash.BpniUQgK.dpuf
“Jadi pakai apa mas?”

Saya tersadar dari lamunan ketika suara si mbak penjaga warteg itu menegur. Akhirnya saya memutuskan untuk memilih telur dadar dengan sedikit sambal beserta kuah sayur sebagai lauk nasi. Yah, untuk makan siang hari ini, itu saja cukup.

Awalnya saya ingin memesan sepiring nasi dengan lauk yang enak-enak. Seperti gulai ayam, rendang paru, ati ampela, tempe orek pedas manis, atau yang lainnya. Namun saya urungkan niat tersebut, karena tepat di sebelah saya seorang bocah sedang lahap memakan nasi hanya dengan dibumbui kecap dan selembar tempe goreng. Saya agak iba melihatnya.

“Abang boleh makan apa aja kok, Bang. Saya gak apa-apa.” Ucap bocah itu enteng. Seolah ia bisa menebak apa yang terlintas di benak saya.

“Ah, emang biasa begini kok.” Jawab saya takut menyinggung perasaannya. Setelah itu, sambil makan, saya mulai menanyainya beberapa pertanyaan.

Jadi, bocah ini namanya Budi. Umurnya tiga belas tahun. Ia tinggal di sekitaran ciledug.

“Ke sini naik apa?”

“Odong-odong.” Jawabnya sambil menunjuk sebuah odong-odong yang terparkir di luar warteg.

Karena semakin heran, saya mulai banyak tanya. Semula ia hanya menjawab sekedarnya. Tapi lama kelamaan, ia menjadi asyik bercerita. Jujur, saya sangat tertarik mendengar ceritanya. Karena ia menceritakan tentang betapa buruk hidupnya dengan gaya bicara yang sangat riang. Polos. Seperti tidak ada beban sedikitpun.

“Kenapa tidak sekolah?”

Karena harus bekerja, ia berhenti sekolah, katanya. Budi memiliki dua orang adik yang masih duduk di sekolah dasar. Bapaknya entah ke mana. Ibunya seperti mayat hidup di rumah. Entah sakit apa, si Ibu nyaris tak sanggup lagi untuk sekedar bangun dari berbaring. Badanya bergetar, lemas dan keluar keringat dingin kalau kelamaan berdiri. Jangankan untuk kerja berat, sekedar berdiri saja sudah seperti itu.

“Awalnya ibu bilang sakit mag. Kalau makan pasti muntah.” Ujarnya.

Karena kondisi si ibu seperti itu, kini Budi mengambil alih semua pekerjaan rumah tangganya. Setiap hari, ia bangun pagi-pagi betul untuk mengantar koran ke rumah-rumah. Setelah selesai, ia kembali untuk mengemasi adik-adiknya berangkat ke sekolah, kemudian mengantar mereka dengan sepeda.

Setelah beres, ia kembali ke rumah. Berbenah. Kemudian mengurus ibunya yang terkadang berbicara yang aneh-aneh. Budi bilang, salah seorang dokter dari beberapa dokter yang pernah ia datangi untuk mengobati ibunya berkata bahwa ibunya sakit akibat kelewat stres, terlalu banyak pikiran. Mungkin si ibu sulit menerima kenyataan harus mengurus tiga orang anaknya yang belum dewasa seorang diri, yang dianggapnya sebagai beban.

“Kalau siang baru saya keliling bawa odong-odong punya tetangga. Enak, setorannya berapa aja.” Budi menjawab pertanyaan yang muncul di benak saya sejak tadi. Sebelumnya dia juga bilang, kalau hari sabtu minggu kadang dia ikut katering acara orang nikahan. Lumayan bayarannya.

“Kalau narik odong-odong capek genjotnya doang. Tapi seru, bisa ngehibur anak kecil.”

Budi bercerita, sering kali ada seorang bocah menangis di hadapannya karena saking inginnya naik odong-odong. Maka ia menaikkan bocah cengeng tadi ke odong-odongnya dengan gratis.

“Soalnya saya kasihan bang ngeliatnya.” Ucapnya yang membuat hati saya benar-benar terharu lagi teriris.

Selesai makan, saya mengeluarkan uang bermaksud membayar makanan saya dan Budi sekalian. Seperti telah menebak niat saya, Budi buru-buru menyerahkan uangnya ke pelayan warteg. Saya berusaha mencegah, namun gagal. Budi menolak untuk dibayarkan makan siangnya.

“Yaudah. ini Bud, buat kamu. Anggap aja gantiin bayaran anak-anak kecil yang naik odong-odong kamu tapi gak bayar.” Ucap saya seraya menyerahkan selembar lima puluh ribuan. Lagi-lagi ia menolak.

“Kalau abang bayar, nanti saya gak dapet pahala dong karena udah nyenengin anak-anak kecil itu.” jawabnya polos sambil cengengesan. Kemudian ia pamit untuk mulai mencari nafkah lagi.

Melihat ia berlalu dengan menggenjot odong-odong yang kadang harus dengan tenaga ekstra  sampai urat-uratnya tampak, perasaan saya campur aduk. Di usia yang belum seharusnya itu, ia sudah sanggup menantang kerasnya hidup dengan perasaan seolah-olah itu tidak apa-apa. Jelas sekali betapa di usianya yang masih sangat remaja ia sudah mengerti arti tanggung jawab, pengorbanan, dan rasa syukur.

Yang lebih membuat batin saya terasa tertonjok, ia masih bisa berbuat baik kepada orang lain dalam keadaan di mana nasib memperlakukan dirinya dengan tidak baik.

“Ah, anak sekecil itu.”
- See more at: http://inspirasi.co/forum/post/402/jadi_inilah_si_budi_ia_tidak_kuyup_menggigil#sthash.BpniUQgK.dpuf
“Jadi pakai apa mas?”

Saya tersadar dari lamunan ketika suara si mbak penjaga warteg itu menegur. Akhirnya saya memutuskan untuk memilih telur dadar dengan sedikit sambal beserta kuah sayur sebagai lauk nasi. Yah, untuk makan siang hari ini, itu saja cukup.

Awalnya saya ingin memesan sepiring nasi dengan lauk yang enak-enak. Seperti gulai ayam, rendang paru, ati ampela, tempe orek pedas manis, atau yang lainnya. Namun saya urungkan niat tersebut, karena tepat di sebelah saya seorang bocah sedang lahap memakan nasi hanya dengan dibumbui kecap dan selembar tempe goreng. Saya agak iba melihatnya.

“Abang boleh makan apa aja kok, Bang. Saya gak apa-apa.” Ucap bocah itu enteng. Seolah ia bisa menebak apa yang terlintas di benak saya.

“Ah, emang biasa begini kok.” Jawab saya takut menyinggung perasaannya. Setelah itu, sambil makan, saya mulai menanyainya beberapa pertanyaan.

Jadi, bocah ini namanya Budi. Umurnya tiga belas tahun. Ia tinggal di sekitaran ciledug.

“Ke sini naik apa?”

“Odong-odong.” Jawabnya sambil menunjuk sebuah odong-odong yang terparkir di luar warteg.

Karena semakin heran, saya mulai banyak tanya. Semula ia hanya menjawab sekedarnya. Tapi lama kelamaan, ia menjadi asyik bercerita. Jujur, saya sangat tertarik mendengar ceritanya. Karena ia menceritakan tentang betapa buruk hidupnya dengan gaya bicara yang sangat riang. Polos. Seperti tidak ada beban sedikitpun.

“Kenapa tidak sekolah?”

Karena harus bekerja, ia berhenti sekolah, katanya. Budi memiliki dua orang adik yang masih duduk di sekolah dasar. Bapaknya entah ke mana. Ibunya seperti mayat hidup di rumah. Entah sakit apa, si Ibu nyaris tak sanggup lagi untuk sekedar bangun dari berbaring. Badanya bergetar, lemas dan keluar keringat dingin kalau kelamaan berdiri. Jangankan untuk kerja berat, sekedar berdiri saja sudah seperti itu.

“Awalnya ibu bilang sakit mag. Kalau makan pasti muntah.” Ujarnya.

Karena kondisi si ibu seperti itu, kini Budi mengambil alih semua pekerjaan rumah tangganya. Setiap hari, ia bangun pagi-pagi betul untuk mengantar koran ke rumah-rumah. Setelah selesai, ia kembali untuk mengemasi adik-adiknya berangkat ke sekolah, kemudian mengantar mereka dengan sepeda.

Setelah beres, ia kembali ke rumah. Berbenah. Kemudian mengurus ibunya yang terkadang berbicara yang aneh-aneh. Budi bilang, salah seorang dokter dari beberapa dokter yang pernah ia datangi untuk mengobati ibunya berkata bahwa ibunya sakit akibat kelewat stres, terlalu banyak pikiran. Mungkin si ibu sulit menerima kenyataan harus mengurus tiga orang anaknya yang belum dewasa seorang diri, yang dianggapnya sebagai beban.

“Kalau siang baru saya keliling bawa odong-odong punya tetangga. Enak, setorannya berapa aja.” Budi menjawab pertanyaan yang muncul di benak saya sejak tadi. Sebelumnya dia juga bilang, kalau hari sabtu minggu kadang dia ikut katering acara orang nikahan. Lumayan bayarannya.

“Kalau narik odong-odong capek genjotnya doang. Tapi seru, bisa ngehibur anak kecil.”

Budi bercerita, sering kali ada seorang bocah menangis di hadapannya karena saking inginnya naik odong-odong. Maka ia menaikkan bocah cengeng tadi ke odong-odongnya dengan gratis.

“Soalnya saya kasihan bang ngeliatnya.” Ucapnya yang membuat hati saya benar-benar terharu lagi teriris.

Selesai makan, saya mengeluarkan uang bermaksud membayar makanan saya dan Budi sekalian. Seperti telah menebak niat saya, Budi buru-buru menyerahkan uangnya ke pelayan warteg. Saya berusaha mencegah, namun gagal. Budi menolak untuk dibayarkan makan siangnya.

“Yaudah. ini Bud, buat kamu. Anggap aja gantiin bayaran anak-anak kecil yang naik odong-odong kamu tapi gak bayar.” Ucap saya seraya menyerahkan selembar lima puluh ribuan. Lagi-lagi ia menolak.

“Kalau abang bayar, nanti saya gak dapet pahala dong karena udah nyenengin anak-anak kecil itu.” jawabnya polos sambil cengengesan. Kemudian ia pamit untuk mulai mencari nafkah lagi.

Melihat ia berlalu dengan menggenjot odong-odong yang kadang harus dengan tenaga ekstra  sampai urat-uratnya tampak, perasaan saya campur aduk. Di usia yang belum seharusnya itu, ia sudah sanggup menantang kerasnya hidup dengan perasaan seolah-olah itu tidak apa-apa. Jelas sekali betapa di usianya yang masih sangat remaja ia sudah mengerti arti tanggung jawab, pengorbanan, dan rasa syukur.

Yang lebih membuat batin saya terasa tertonjok, ia masih bisa berbuat baik kepada orang lain dalam keadaan di mana nasib memperlakukan dirinya dengan tidak baik.

“Ah, anak sekecil itu.”
- See more at: http://inspirasi.co/forum/post/402/jadi_inilah_si_budi_ia_tidak_kuyup_menggigil#sthash.BpniUQgK.dpuf