Kamis, 28 April 2011

Aku bersyukur kepada Tuhan yang sering membuatku malu

Di hadapan cermin, aku selalu berkeluh:

"Ah, betapa jeleknya wajah saya. Jerawat subur di mana-mana. Bahkan, bisul tak mau beranjak dari hidung yang memang tak pernah mancung."

Namun, di satu cermin sebuah toilet umum, Tuhan menegurku.

Berdiri di sisiku seseorang yang, wajahnya, nyaris tak berbentuk lagi karena luka bakar. Bekas nanah dan darah, yang tak dapat dibersihkan, lalu gosong, yang abadi, melekat pada rupa atas dari penampakannya yang selalu tersenyum.

Dan di saat itu, di hadapan cermin yang sama denganku, ia tetap tersenyum juga. Seperti sedang mensyukuri apapun yang Tuhan kasih kepadanya.

Saat itu aku merasa malu. Sangat malu.

Suatu ketika, telepon genggam ku rusak. Belum mempunyai uang yang cukup untuk menggantinya, aku kesah:

"Bagaimana ini? Saya tidak punya alat komunikasi lagi. Uang di saku tak cukup, cuma ada dua ratus ribu. Sungguh menyedihkan!"

Di perempatan jalan, Tuhan memprotesku.

Orang yang cukup tua menghampiriku. Ia bersama anak kecil, yang mungkin cucu atau bahkan anaknya. Ia berkata:

"Saya pendatang baru di sini. Saya mengontrak di seberang jalan sana. Saya baru dapat pekerjaan dua hari lalu sebagai tukang sapu. Belum digaji. Maukah tuan meminjamkan uang, sepuluh ribu saja, untuk beli nasi, untuk anak saya yang ingin makan sejak pagi. Demi Allah, saya tidak minta, saya janji akan mengganti"

Aku yang mempunyai uang dua ratus ribu, kini merasa malu. Sangat malu.

Dan banyak lagi serangkaian pengalaman yang sering kutemukan, kualami di jalanan, di persimpangan, di pedesaan, di trotoar, di malam hari, dan di setiap sari-sari murni kehidupan yang semakin mempermalukan aku yang jarang sekali mensyukuri atas apa yang telah ku nikmati, ku miliki.

Dan mulai saat ini, aku berusaha agar tidak merasa malu lagi.

Tuhan, bantu aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar